Padahal itu belum tentu benar,tetapi sudah terlanjur membuat kita merasa bersalah "banget". Koq kita masih takut, ya? Jangan-jangan iman kita bukan iman yang original.
Percayalah kepada saya, mereka yang menyerukan "jangan takut!", mereka pun ternyata tidak bebas dari rasa takut itu. Sebenarnya mereka menyerukan “jangan takut” itu juga untuk dirinya sendiri. Kalau kita mau jujur, rasa takut itu bisa sangat berguna. orang yang tidak takut sama sekali justru hidupnya penuh bahaya. Si Upik yang baru berumur dua tahun lepas dan lari menyeberang jalan. Pemandangan itu membuat ngeri setiap orang yang menyaksikannya. Si Upik sendiri tidak merasa takut. Seorang sopir bus yang tidak pernah takut menabrak kendaratan lain bisa membuat para penumpangnya terkencing-kencing ketakutan.
Takut karena salah
Dosa membawa ketakutan ke dalam hidup kita. Seperti Adam: "Ketika aku mendengar, bahwa Engkau ada dalam taman ini, aku menjadi takut, karena aku telanjang; sebab itu aku bersembunyi.", ketika kita dikejutkan oleh kilatan lampu rotator mobil polisi yang muncul tiba-tiba di belakang kita, timbul rasa takut. Jangan-jangan saya baru saja buat salah. Takut ketika kita melakukan suatu kesalahan bisa jadi ketakutan yang bermanfaat. Paling tidak kita akan lebih berhati-hati melangkah dalam hidup ini. Ini sudah menjadi bagian dari hidup manusia. Kita menjadi takut karena dosa. Ketika di taman Getsemani, Yesus “takut”. Dia sedang menjadi Imam Besar yang membawa seluruh dosa umat manusia di pundaknya, dan menyiapkan diri untuk menghadapi kematian-Nya disalibkan. Ketakutan ini bukan karena menghadapi kematian-Nya, tetapi karena Dia memikul dosa kita. Dan dosa membawa ketakutan ke dalam hidup manusia. Semua ini harus terjadi sehingga kita yang berdosa bisa datang kepada-Nya tanpa rasa takut, untuk mengakui semua dosa kita dan mendapatkan pengampunan.
Di pikiran saya, Allah pasti tahu lah kalau bawaan kita itu gampang takut. Justru itulah sebabnya ada banyak peringatan 'jangan takut'. Kenyataannya kita tetap takut. Saya perlu menjelaskan lebih lanjut. Pertama, berbeda sekali antara merasa takut, dan dikuasai ketakutan. Merasa takut adalah reaksi normal ketika kita menghadapi situasi-situasi tertentu. Saya ingat ketika sedang bersenang-senang bermain ombak di pantai Kuta besama keluarga, tanggal 26 Desember 2006, lalu mendengar hari itu baru saja terjadi tsunami yang merenggut nyawa ribuan orang di Aceh. Segera saya merasa takut. Laut yang sama, tiba-tiba memiliki kekuatan dan wibawa yang luar biasa di mata saya. Ini sangat wajar. Tetapi ini tidak membuat saya takut lagi bermain di pantai, karena saya tidak dikuasai oleh ketakutan itu.
Ketakutan itu biasa tapi jangan dibiasakan. Artinya, rasa takut itu tak perlu dihindari. Tetapi hidup ini tidak boleh dikuasai oleh ketakutan, sehingga segala pikiran dan tindakan kita dipengaruhi oleh rasa takut. Sehingga prilaku kita lahir dari ketakutan, pikiran kita selalu negatif, apa yang kita lakukan kita lakukan karena kita takut. Ketakutan yang mestinya merupakan bagian dari respons emosi kita yang wajar, menjadi kekuatan yang mengikat. Ini adalah suatu perbudakan. Hidup yang diikat oleh kekuatan lain. Dan inilah waktunya untuk dilepaskan dari pengaruhnya.
Jadi, bagaimana seharusnya kita bersikap?
Catatan seputar kelahiran Yesus Kristus diwarnai dengan tokoh-tokoh yang merasa takut (Lukas 1:26-38. Matius 1:19-25, Lukas 2:8-20). Dan khusus untuk Yusuf, Maria dan para gembala, ketakutan yang mereka alami melibatkan kehadiran para malaikat utusan Allah. Alkitab sering sekali memerintahkan pembacanya untuk jangan takut. Tetapi tidak berhenti disitu. Firman TUHAN tidak membiarkannya kita bertanya-tanya, apa yang harus dilakukannya selanjutnya. Yang paling sering adalah perintah jangan takut diteruskan dengan mengarahkan kita kepada Allah yang mampu dan setia. Ini jelas sekali di Mazmur 56:4, Waktu aku takut, aku ini percaya (trust) kepada-Mu. Dia mengajari kita untuk memakai ketakutan kita untuk berpaling kepada suatu kenyataan yang besar, yaitu Allah yang BESAR, dan Dia peduli. Marilah kita datang kepada Dia yang lebih besar dari hidup kita. Kasih-Nya begitu besar sehingga kita tidak perlu takut datang mengakui semua dosa kita. Dia mengampuni. Tidak ada cara yang lebih baik untuk menghadapai masa depan yang tidak menentu ini bersama dengan Dia, yang memegang hidup kita, dan Dia yang berkuasa atas alam semesta ini.
Penulis: Paulus Rahadjo