Retno mengatakan, latar belakangnya sebagai diplomat karier adalah bagaimana harus melakukan kerja sama antarumat beragama dan budaya.
“Mei 2017 adalah pertama kali kami dialog antariman dengan Myanmar,” kata Retno Marsudi dalam keterangan tertulis, hari Selasa (17/10) dalam rangka “Conference on Religion Journalism: Reporting Religion on Asia”, di Universitas Multimedia Nusantara Tangerang Banten yang digelar pada 17-19 Oktober 2017.
Konferensi ini diselenggarakan oleh International Association of Religion Journalists (IARJ), Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) dan Universitas Multimedia Nusantara (UMN).
“Kami juga untuk pertama kalinya menyelenggarakan dialog antaragama dengan Singapura pada Juli 2017 dan merayakan ulang tahun ke-50 diplomasi antarnegara. Oktober ada satu lagi dialog antarumat beragama dengan Austria,” katanya.
“Kami juga aktif dalam dialog antarumat beragama dan budaya di ASEAN dan Afrika, dalam forum tidak resmi di Korea, Meksiko dan lain-lain,” dia menambahkan.
Retno mengatakan, tahun 2016 Indonesia mencanangkan prakasa baru yaitu pemberdayaan perdamaian lewat bentuk digital. “Ini kampanye kontra narasi terhadap ideologi ekstrimis,” katanya.
Ada banyak hal terjadi, lanjutnya, seperti diplomasi Indonesia, diplomasi kemanusiaan dan antarumat beragama. Lima pekan lalu, Retno melakukan diplomasi maraton untuk kemanusiaan, termasuk ke Myanmar dan Bangladesh untuk berdiskusi perkembangan di negara bagian Rakhine.
“Lalu saya pergi ke New York untuk menghadiri pertemuan majelis umum PBB selama 10 hari,” katanya.
Retno mengatakan, ada 115 pertemuan yang dia hadiri. Sebagian dari pertemuan adalah membahas dialog antarumat beragama. Selalin itu juga membahas perkembangan yang terjadi di Rakhine. Dari New York saya melakukan pertemuan di Tunisia untuk membicarakan lanjutan forum demokrasi di Bali.
“Kami bertukar pikiran soal demokrasi sebagai negara mayoritas Muslim seperti Indonesia. Demokrasi dengan Islam saling itu kompatibel dan bisa berjalan. Lalu di Jornadia berdiskusi membahas Palestina,” katanya.
“Jadi (ada dalam konferensi ini) bukan hal kebetulan. Dialog antarumat beragama dan kebebasan beragama sudah menjadi sorotan dalam kunjungam saya akhir-akhir ini,” lanjutnya.
Retno menilai, untuk negeri yang majemuk seperti indonesia, harmoni dan kerukunan harus ada. Tidak ada pilihan lain. Jika tidak, negara ini tidak akan bertahan. Kerukunan juga harus ada, tapi tidak akan ada dengan sendirinya. Harus ditumbuhkan.
Editor : Eben E. Siadari