Pihak sekolah beralasan karena regulasi memang belum mengatur soal penganut kepercayaan.
“Aliran penghayat memang bukan agama. Tapi masuk budaya. Sementara, pelajaran di sekolah belum mengakomodir hal tersebut. Mata pelajaran yang ada sementara ini adalah agama. Bukan budaya,” kata Sodik, saat dihubungi wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, hari Jumat (19/8).
Karena hanya budaya, Sodik menyarankan agar Zulfa mengikuti salah satu agama dari enam agama yang diakui pemerintah. Zulfa bisa mengikuti ujian aliran penghayat apabila sudah diakui sebagai agama.
“Kalau pengahayat sudah diakui sebagai agama, ya mereka tentu bisa ujian atas dasar agama itu," kata Sodik.
Sebenarnya, Zulfa sudah mengikuti ujian teori agama Islam. Namun, ia menolak ikut ujian salat.
Menurut Sodik, secara normatif sebelum ada perubahan tentang Undang-Undang Agama dan perubahan kurikulum tentang agama dalam sekolah, maka harusnya Zulfa memilih salah satu agama. Namun, Sodik berharap ada kebijaksanaan kepala sekolah dan dewan guru ketika menghadapi kasus-kasus serupa.
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Permendikbud Nomor 53 Tahun 2015 tentang Panduan Penilaian Siswa, peluang pendidikan untuk siswa penghayat kepercayaan tidak ada.
Zulfa Nur Rahman, 17 tahun, Penghayat Kepercayaan yang bersekolah di SMK Negeri 7 Semarang memilih dirinya tidak naik kelas ketimbang terpaksa praktik salat dalam mata pelajaran agama Islam.
Zulfa adalah seorang anak pengikut penghayat kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa. Status Zulfa pada kolom agama dalam Kartu Keluarga diisi kosong (-). Ayahnya bernama Taswidi dan ibunya Susilowati.
Pada Juli 2016 lalu Zulfa tidak naik kelas karena nilai pendidikan agama mendapat D (kurang). Kurikulum di sekolah negeri itu hanya memfasilitasi enam agama, tanpa mengakomodasi aliran penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum