"Teknologi manajemen air yang digadang-gadang menjadi solusi oleh perusahaan bubur kertas dan kertas ini sebenarnya tidak berkelanjutan. Masalahnya teknologi ini tetap harus membuka drainase di lahan gambut," kata Reza dalam diskusi di Jakarta, Selasa (13/9).
Dalam teknologi ekohidro, ia mengatakan skenario alternatif yang digunakan hanya pengelolaan lahan gambut dengan sistem drainase biasa. Apabila kawasan tidak didrainase, maka pengelolaan air akan lebih baik lagi.
"Padahal air dari zona inti malah akan terkuras ke kawasan drainase, memberikan dampak lebih parah," kata dia.
Selain itu, menurut dia, data subsidensi yang disajikan dari penggunaan teknologi ini di lahan gambut mencapai sebesar lima hingga enam centimeter (cm) per tahun, dan tiga hingga empat cm per tahun semua nya di kumpulkan di kawasan ekohidro.
Penetapan zona inti 30 persen, katanya, tidak akan efektif untuk menahan larinya air dari lahan gambut. Zona inti harus dibuat lebih luas, misalkan dibalik menjadi 70 persen.
"Kalaupun zona inti dibuat 70 persen tetap saja harus dilakukan penelitian lebih lanjut. Apakah benar itu mampu membuat lahan gambut di lokasi tersebut tetap basah," kata Reza.
Masih terbakarnya lahan PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) yang sudah menggunakan teknologi ekohidro, menurut dia, menjadi bukti metode ini belum bisa menjamin menekan angka karhutla gambut.
“Karenanya, Wetland Indonesia bersama Jikalahari dan Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR) meminta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencabut poin tiga Surat Instruksi MenLHK S.495/2015 tanggal 5 November 2015, yang merekomendasikan penggunaan teknologi ekohidro pada lahan gambut yang telah ditanam karena pendekatan ini terbukti tidak berkelanjutan,” kata dia.
Sementara itu, Koordinator Jikalahari Woro Supartinah mengatakan teknologi ekohidro memang direkomendasikan Pemerintah. Namun kenyataannya hanya menahan sementara, tapi tidak mengurangi kerusakan lingkungan. (Ant)