Perayaan ini terbilang cukup istimewa bagi masyarakat Papua. Karena itu, setiap 5 Februari pemerintah Papua menetapkan hari tersebut sebagai hari libur fakultatif dan cuti bersama di seluruh Provinsi Papua dan Papua Barat.
Sejarah masuknya Injil ke Tanah Papua terbilang tidak mudah. Seperti tercatat, dibutuhkan perjuangan keras dari para penginjil yang datang ke negeri Cendrawasih ini. Penginjil yang pertama kali tiba di Pulau Mansinam ini adalah C.W Ottow dan J.G Geissler. Keduanya tiba dengan perayu tepat ketika subuh. Saat melangkahkan kaki ke tepian pantai Mansinam, mereka pun berlutut naikan doa sulung “Dengan Nama Tuhan Kami menginjak Tanah ini”. Mereka memateraikan Tanah Papua dengan berkat Tuhan serta memohon perlindungan atas mereka di tempat asing yang dihuni oleh orang-orang berkulit hitam dan kafir itu. Sejak saat itulah Ottow dan Geissler tinggal di Pulau Mansinam demi menabur Injil kepada orang-orang Papua.
Karena orang-orang Papua saat itu hidup penuh dengan kebencian, kecurigaan dan peperangan antar suku, benih Injil pun terasa sulit untuk tumbuh di hati mereka. Berbagai tantangan, sakit penyakit dan penolakan sudah dialami kedua penginjil ini. Bahkan sampai akhir hayat, keduanya masih belum bisa melihat hasil dari benih injil yang mereka sudah tanam.
Tapi kerinduan untuk terus memenangkan Papua untuk Tuhan tak berhenti di situ. Para penginjil lain terus berdatangan dan berjuang kembali untuk meruntuhkan segala budaya, kepercayaan dan kebiasaan adat istiadat yang bertentangan dengan Injil. Obor Injil yang sudah ditabur di pulau Mansinam akhirnya berlabuh sampai ke seberang lautan, di tepian pantai, pulau, hulu, hilir , lembah dan gunung-gunung Tanah Papua.
Melalui lembaga Zending yang berbasis di Belanda, dibangunlah sebuah sekolah guru jemaat di Kwawi. Tapi tantangan untuk memenangkan hati orang-orang Papua tetap ada. Amukan Perang Dunia II di Pasifik (1941-1947) memporak-porandakan semua kerja yang dilakukan oleh Zending, para utusan Zending, guru Injil dan guru sekolah peradaban yang berasal dari Sangihe Talaud dan Ambon dipulangkan kembali ke negeri asalnya. Gereja dan sekolah yang mulai tumbuh ditutup serdadu Jepang, orang Papua pun kembali hidup dalam ancaman psikis dan primordialisme.
Setelah Perang Dunia II berakhir, beberapa utusan Zending kembali ke Tanah Papua dan menghidupkan kembali pelayanan yang sudah mereka bangun dulu. Sidang Sinode yang pertama pada tahun 1956 menjadi awal dari kebangunan gereja di Papua. Lewat sidang yang panjang dan penuh perdebatan, dihasilkan keputusan untuk mendirikan Gereja Kristen Injili di Nieuw Guinea Barat.
Karena itulah, Gereja Kristen Injili (GKI) menjadi rumah tua pekabaran Injil di Tanah Papua. Gereja ini mengemban tugas dan tanggung jawab untuk menjaga kesatuan dan keutuhan iman umat Kristiani di Tanah Papua. Para kaum yang diurapi harus melakukan rekonsiliasi dengan Tuhan sebagai pemilik pekerjaan Injil dan juga harus melakukan rekonsiliasi dengan sesama pekerjanya. Agar tugas amanat Agung Kristus Yesus di dunia untuk ‘menjadikan seluruh bangsa murid dan membaptis mereka dalam Nama Tuhan Yesus Kristus dan Roh Kudus’ bisa terwujud.
Perayaan HUT Pekabaran Injil ke-162 ini menjadi refleksi yang mendalam bagi GKI Papua. Pdt Lipius Biniuk yang membawakan khotbah dalam ibadah syukuran Minggu (5/2) kemarin, menyampaikan supaya seluruh umat Kristiani tetap memiliki spirit dan hati yang tetap sama seperti penginjil pertama Ottow dan Geissler saat pertama kali menginjakkan kaki di Pulau Mansinam, Manokwari.
“Perasaan dan hati yang sama seperti Ottow dan Geissler yang harus kita miliki. Mereka bukan orang Papua tapi kasih Kristus menyentuh hati mereka untuk membawa berita damai dan keselamatan bagi kita,” ucap pendeta Biniluk.
Sumber : Berbagai Sumber/jawaban.com