“Saya melihat kita perlu lebih jernih tentang persoalan ini, karena kalau dilihat contohnya dalam Islam di Indonesia akhir-akhir ini, maka ada dua arus gerakan dalam Islam,”kata Koordinator Abdurrahman Wahid Center, Ahmad Suaedy dalam seminar dengan tema “Populisme dan Tantangan Kebhinekaan di Indonesia” di Auditorium Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, hari Sabtu (25/2).
Dia mengatakan dua contoh yang nyata di Indonesia akhir-akhir ini yakni gerakan “212” yang berbentuk sama dengan “412” yang menurut pandangan sejumlah pengamat internasional didefinisikan sebagai populisme.
“Para pengamat internasional akhir akhir ini melihat bahwa islam di indonesia adalah gerakan sepihak misalnya 411 (4 November 2016), 212 Jilid satu (2 Desember 2016) dan 212 jilid dua (21 Februari 2017), semua mengarah ke situ,” kata dia.
Dia mengatakan masyarakat Indonesia terlalu terlena dengan gerakan yang setipe dengan 212, karena malah melupakan bahwa di tempat terpisah terdapat aksi lain yang serupa yang menyuarakan hal lain yang berbentuk sama, tetapi memiliki visi dan misi yang berbeda yakni aksi kebinnekaan “412” (4 Desember 2016).
Dia mengatakan pola gerakan seperti “212” merupakan sebuah bentuk gerakan yang mendasari populisme kepada “imagine identity.
“Ciri ini (imagine identity) adalah masyarakat di sekitarnya harus Islam, dan hukum syariah harus diterapkan. Jadi, imagine identitiy adalah gerakan sipil yang menggunakan identitas sebagai alat untuk mendapat tujuan mereka,” kata dia.
Di sisi lain, kata Ahmad Suaedy, ada juga yang menyebut imagine community. “Jadi, ini adalah sebuah gerakan yang mengandaikan plural dan nasionalisme, ada historisnya di imagine community ini, karena gerakan mengumpulkan orang di Jakarta dalam jumlah yang banyak sudah terjadi sejak tahun 50-an dan 60-an,” kata dia.
Dia berpendapat orang-orang yang ikut gerakan yang setipe dengan “412”, secara historis, tidak akan mau untuk didorong untuk bertarung dengan “212”.
“Jadi imagine community biasanya lahir tidak menggunakan massa yang besar, karena saya anggap ekspresi saja, dan bukan alat memobilisasi massa,” kata dia.
Editor : Eben E. Siadari / satuharapan