Dr Hugh Houghton, seorang sarjana teologi Perjanjian Baru di Universitas Birmingham menyampaikan kalau manuskrip setebal 100 halaman itu jadi bukti bahwa orang Kristen kuno lebih fokus dengan pandangan spiritual daripada tafsiran Alkitab secara harafiah atau dari asal katanya. “Orang (Kristen) selalu membaca Alkitab dengan berbagai cara,” terang Houghton, seperti dikutip Christianstoday.com.
Tafsiran Alkitab itupun mengkaji empat injil, yang secara khusus fokus membahas tentang isi kitab Matius soal kehidupan Yesus. Tafsiran ini diyakini sudah disembunyikan selama 1500 tahun di antara manuskrip lain di Perpustakaan Katedral Cologne, Universitas Salzburg, yang kemudian ditemukan pada tahun 2012 lalu.
Setelah ditemukan, Dr Houghton pun menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris. Kini, hasil terjemahan yang dilengkapi dengan pendekatan alegoris dengan mencari makna di balik kata-kata yang tertulis di dalam teks, sudah tersedia secara online.
Terkait tafsiran Alkitab kuno itu penulis aslinya mencantumkan sejumlah catatan penting. Salah satunya tertulis, “Oleh karena itu, telah ditunjukkan sejak lama bahwa ada empat Injil. Contohnya, Kitab Suci yang disampaikan di Kejadian 2:10 "Ada suatu sungai mengalir dari Eden untuk membasahi taman itu, dan dari situ sungai itu terbagi menjadi empat cabang." Di tengah-tengah sungai itulah Tuhan kita Yesus Kristus, yang dariNya muncullah empat sungai, yang disimbolkan sebagai keempat Injil. Sebagaimana dituliskan di kitab Yohanes bahwa 'Dari dalam hati-Nya akan mengalir aliran-aliran air hidup.'”
Sang penafsir, Fortunatianus juga membeberkan bahwa silsilah Yesus di kitab Matius harusnya mencakup 14 generasi. Tapi yang dituliskan di sana hanya 13 generasi karena generasi ke-14 ditujukan kepada ‘orang-orang Kristen’ pada saat itu.
“Penemuan semacam itu sangat penting untuk menambah pemahaman kita soal perkembangan penerjemahan Alkitab Latin, yang kemudian memainkan peran penting dalam pengembangan pemikiran dan kesusastraan Barat. Hal ini menyoroti cara pembacaan Injil dan pemahaman Alkitab di gereja mula-mula. Khususnya pembacaan simbol-simbol teks yang dikenal sebagai ‘tafsir alegoris’,” kata Houghton.
Merujuk salah satu artikel terbitan The Telegraph yang dibacanya, Houghton meyakini pasti jika tafsiran itu merupakan catatan penafsiran Alkitab yang akurat. Karena penafsiran kata per kata itu menjadi bukti bahwa saat itu ada banyak ilmuwan yang mencoba membongkar ketidakkonsistenan isi yang ditulis di kitab Matius dan Lukas.
“Tapi bagi orang-orang yang mengajar Alkitab di abad ke-4, ketidakkonsistenan itu bukanlah suatu masalah. Mereka justru lebih mengkhawatirkan soal cara pembacaan Alkitab secara alegoris,” terangnya.
Ada begitu banyak versi yang mungkin kita dengar soal perjalanan panjang penafsiran Alkitab dari bahasa aslinya. Tapi yang pasti, kita tetap percaya bahwa isi Alkitab saat ini adalah firman Tuhan yang hidup dan yang memandu hidup kita untuk lebih mengenal-Nya lebih dalam.
Sumber : Christiantoday.com/Jawaban.com