Kelima pendeta yang ditangkap pada bulan Juni tahun lalu itu diketahui membangun relasi dengan kelompok etnis minoritas Korea di China. Selain dituduh bertindak sebagai mata-mata, mereka juga dituduh membeli dan menjual buku renungan Kristen secara ilegal.
Bulan Januari lalu, Radio Free Asia (RFA) menyiarkan soal kisah pendeta Yang Hua yang memimpin gereja rumah Houshi Church di provinsi Guizhou. Tapi kemudian dia dijatuhi hukuman dua setengah tahun penjara dengan tuduhan telah bertindak sebagai mata-mata.
Pengacara Pendeta Yang menyebutkan bahwa hukuman itu seharusnya tidak layak dijatuhi kepada kliennya. Sebab tuduhan yang dilayangkan kepada Pendeta Yang tidak terbukti benar. Dia justru menilai bahwa tuduhan itu menjadi bentuk penganiayaan.
“Bahkan sehari di penjara sudah terlalu lama bagi orang yang tidak bersalah. Satu hal yang hendak saya sampaikan. Ini bukanlah pengadilan: ini adalah penganiayaan,” ucap pengacara Pendeta Yang.
Pendeta Su Tianfu, seorang pemimpin gereja di Huisho mengatakan bahwa putusan pengadilan itu sangat keterlaluan karena Pendeta Yaang kabarnya tidak puny acara untuk mengungkapkan rahasia negara China. Dia menilai putusan pengadilan mendapat campur tangan politik. Karena itu mustahil untuk bisa melakukan pembelaan terhadap kelima pemimpin gereja tersebut.
China memang dikenal sebagai salah satu negara tertinggi yang melakukan tindakan penganiayaan terhadap umat Kristen. Di tengah rezim komunis yang saat ini berkuasa, umat Kristen China tetap terus berjuang dalam imannya.
Sumber : Christiandaily.com/jawaban.com