Kasus diskriminasi terhadap siswi non-muslim
Kasus ini terjadi saat siswi berinisial NWA mendaftar ke sekolah menengah pertama lewat online, ia membuat dua pilihan, yaitu SMPN 1 Genteng dan SMPN 3 Genteng. Ia kemudian diterima di SMPN 3 Genteng, namun menurut penuturan ayah NWA, Timotius Purno Ribowo saat mendaftar ulang petugas menyatakan bahwa sekolah tersebut hanya menerima siswa beragama Islam dan tidak menerima siswa non Islam.
"Mendengar pernyataan itu anak saya langsung nangis ditempat. Saya sempat debat dengan petugas dan akhirnya anak saya tetap diterima namun syaratnya harus menggunakan jilbab dan mengikuti kegiataan keagamaan," demikian pernyataan Timotius yang dikutip oleh Kompas.com.
Timotius berusaha menghubungi kepala sekolah, namun aturannya tetap sama. Ia pun kemudian melaporkan hal tersebut ke dinas pendidikan, dan disarankan untuk mendaftar kembali ke SMPN 1 Genteng melalui jalur minat bakat dan prestasi dan dinyatakan diterima dengan peringkat 10 besar.
Kasus ini menjadi viral dan menjadi perhatian banyak orang, banyak yang menyayangkan dunia pendidikan tercoreng dengan kasus diskriminasi bernuansa SARA. Meresponi kejadian ini, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas meminta dinas pendidikan menindak tegas kepala sekolah bersangkutan dan menghapus aturan diskriminatif tersebut.
Kasus bullying di Thamrin City
Kasus ini juga melibatkan sosial media, karena muncul setelah sebuah video sekelompok siswa membully seorang siswa sekolah dasar. Kejadian berlangsung di Thamrin City, lantai 3A, Tanah Abang, Jakarta Pusat, dimana para pelaku masih duduk di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Walau kasus sempat ditangani pihak kepolisian, korban dan para pelaku sepakat untuk berdamai. Tetapi pihak sekolah bertindak tegas.
"Mereka diberi kesempatan untuk mencari sekolah lain. Karena orang tua mereka kan menitipkan mereka ke pihak sekolah, karena melakukan pelangaran, maka kami akan kembalikan kepada orang tua," demikian ungkap Kepala Suku Dinas Pendidikan Wilayah I Jakarta Pusat Sujadiono.
Selain itu, jika siswa mendapat fasilitas Kartu Jakarta Pintar, fasilitas tersebut dicabut selama satu tahun.
Radikalisme menyusup di sekolah
CNN Indonesia pada Mei 2016 lalu mengangkat tentang paham radikalisme yang mulai merasuk ke sekolah. Bahkan orangtua tak jarang kaget karena ternyata anaknya dipengaruhi paham radikalisme ini.
“Suatu hari saya lagi mengobrol sama dia, terus dia lihat film di TV, dia bilang sama aku itu orang Islam lagi memerangi orang kafir lho. Kafir itu apa saya pengen ngetes. (Dia jawab) Kafir itu orang yang bukan Islam. Saya terus terang deg, bapaknya juga kaget," demikian ungkap Tyas (39), seperti dirilis CNN Indonesia.
Setelah ditanya, siapa yang memberitahu sang anak seperti itu, ternyata anak mengungkapkan bahwa gurunya yang mengajarkannya. Survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP), yang dipimpin oleh Prof Dr Bambang Pranowo, yang juga guru besar sosiologi Islam di UIN Jakarta, pada Oktober 2010 hingga Januari 2011, mengungkapkan hampir 50% pelajar setuju tindakan radikal. Data itu menyebutkan 25% siswa dan 21% guru menyatakan Pancasila tidak relevan lagi. Sementara 84,8% siswa dan 76,2% guru setuju dengan penerapan Syariat Islam di Indonesia.
Mengerikan bukan?
Lalu bagaimana masa depan Indonesia?
Ini hanyalah sekelumit permasalahan dunia pendidikan di Indonesia. Sekolah adalah tempat dimana anak-anak yang merupakan generasi penerus bangsa ini menimba ilmu dan ditempa untuk menjadi pemimpin bangsa selanjutnya, namun penuh carut-marut permasalah. Tidak hanya itu, biaya pendidikan pun sangat mahal, tak jarang ada banyak anak-anak akhirnya putus sekolah karena orangtua tidak sanggup membiayai.
Dunia pendidikan yang dulu merupakan sebuah ladang pengabdian, kini sudah berubah menjadi ladang mengeruk keuntungan dengan berbagai komersialisasi. Hal ini tidak hanya pada sekolah swasta, namun juga sekolah negeri, dengan berbagai dalih dan alasan, ada saja biaya yang harus dikeluarkan orangtua siswa. Lalu bagaimana anak-anak Indonesia bisa pintar dan berbudi luhur?
Jika tidak ada yang peduli, maka dunia pendidikan akan menjadi ladang yang subur untuk masuknya radikalisasi, anarkisme dan juga berbagai nilai-nilai yang negatif secara terselubung ataupun bahkan terang-terangan.
Kita harus ingat bahwa para pendiri bangsa ini berjuang bukan hanya di medan perang, banyak yang memilih berjuang melalui dunia pendidikan. Karena dunia pendidikan adalah sarana yang mendasar untuk membangun sebuah bangsa yang kuat. Kita bisa menyebut Ki Hajar Dewantara, Kartini, Dewi Sartika dan banyak lagi para pahlawan Indonesia yang menyadari bahwa pendidikan adalah ladang perjuangan dan pengabdian. Indonesia perlu melihat kembali pentingnya dunia pendidikan dan berjuang bersama agar dunia pendidikan menjadi sarana mempersiapkan penerus bangsa ini, dengan kualitas yang terbaik dan dengan tetap menjaga nilai-nilai luhur dan budaya Indonesia.
Sumber : Berbagai sumber