Begitupun dalam menjawab masalah terorisme, Al Araf secara tegas menuntut negara menempuh jalan yang sesuai dengan prinsip demokrasi dan penegakan hukum, tidak mengambil langkah proteksionisme melalui kekerasan. Sebab, hal tersebut malah berakumulasi pada penguatan radikalisme dan terorisme itu sendiri.
“Kita memang sedang geram pada radikalisme dengan segala ekspresinya. Tetapi kita perlu tenang dalam menyikapi ini. Jangan melawan teror dengan teror. Karena kita akan berada pada satu lingkaran tindakan kekerasan yang tidak berujung,” kata Al Araf dalam diskusi bertema intoleransi dan radikalisme atas nama agama dalam perspektif keamanan negara di hadapan seratus lebih peserta Konferensi Jaringan Antar Iman Indonesia (JAII) Sabtu malam (5/8/2017) di Hotel Yehezkiel Bandung.
Sehingga, secara struktural kehadiran negara menjadi keniscayaan. Sebab, jika negara lemah, justru terjadi konflik di internal negara itu sendiri. Maka, menurut Al Araf, peran kepolisian menjadi sangat penting dalam memberikan perlindungan kebebasan beragama warga negaranya, yakni dengan menindak setiap manifestasi intoleransi dari bentuk yang rendah sampai yang tinggi.
“Bentuk intoleransi yang paling rendah bernama hate speech; manifestasi di tengah adalah radikalisme; dan tertinggi adalah terorisme,” ujar Al Araf selaku narasumber diskusi yang merupakan rangkaian Konferensi JAII kedelapan yang digelar selama tiga hari, 3-5 Agustus 2017.
Konflik Identitas Politik di Indonesia
Secara faktual, Al Araf memberi peringatan, berbagai bentuk intoleransi bisa berujung pada konflik internal. Hal tersebut mengacu pada sejarah negara bernama Yugoslavia yang sekarang sudah hancur menjadi negara yang bebeda-beda. Runtuhnya negara Yugoslavia tidak diprediksi oleh semua orang.
Jadi, kenapa Yugoslavia hancur dan runtuh, lanjut lanjut pria yang akrab dipanggil A’al ini, karena konflik di elit politik yang diikuti dengan konflik etnis dan identitas. Pasca perang dingin konflik internal negara menjadi lebih besar. Berbeda sebelum perang dingin, yang terjadi justru konflik eksternal. Ketika Uni Soviet runtuh dan demokrasi berekembang, lalu diikutui dengan berkecamuk konflik internal negara-negara pecahan Soviet.
Sialnya, sambung Al Araf, konflik internal banyak terjadi di negara-negara Asia dan Afrika. Dan Indonesia juga ikut serta mengalami persoalan tersebut, seperti konflik Ambon, Poso dan beberapa daerah lainnya.
Kawasan Asia dan Afrika terus dilanda instabilitas politik. Demokrasi mengalami satu dinamika perubahan. Di setiap rezim politik akan mengalami perubahan dan konflik karena terjadi pertarungan elit dalam perebutan kekuasaan.
“Maka kita harus belajar dari kasus Yugoslavia agar Indonesia tidak mengalami hal yang sama. Sehingga, keragaman Indonesia harus dirawat,” ajak Al Araf kepada para peserta Konferensi yang terdiri dari tokoh agama dan aktivis lintas-iman dari berbagai wilayah seperti Papua, NTT, NTB, Bali, Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Jawa, Sumatera sampai Aceh.
Karena itulah Al Araf kembali mengajak peserta untuk melihat radikalisme dan kekerasan atas nama agama sebagai problem keamanan di tingkat global, karena ada pergerakan global dan hal itu mempengaruhi Indonesia.
“Ada fakta politik di tingkat global, yakni konflik internal negara-negara di dunia lebih besar dari konflik eksternal. Ini menunjukkan bahwa dimensi konflik di dalam negara sangat kuat, seperti Irak, Suriyah, Sudan, Tunisa, dan lain-lain,” paparnya.
Penegakan hukum terhadap kasus-kasus intoleransi memang dilakukan pihak keamanan, tetapi dalam analisis Al Araf, tidak pernah masuk pada akar persolannya. Jika ada persolan intolernasi, pasti ada persolan perbedaan kelas dan kesenjangan ekonomi. Makanya, kasus-kasus intoleransi banyak terjadi di Asia dan Afrika, tetapi tidak di Eropa. Begitupun, isu-isu identitas sangat mudah disulut jika gap sosial di Indonesia levelnya lebar, sehingga persoalan intoleransi dan konflik identitas terus terjadi.
Untuk itu, ia mengingatkan para peserta betapa konflik elit politik di Indonesia yang terjadi saat ini begitu mengkhawatirkan. Karena pada level tertentu akan mengarah pada konflik identitas.
Dalam pilkada DKI elit-elit politik melakukan mobilisasi massa dengan menggunakan politik identitas dan sampai sekarang terus berlanjut dengan saling menuduh dan menyerang atas identitas dan paham ideologi tertentu.
Indonesia memang berbeda dengan negara-negara seperti Irak dan Suriyah. Namun, bagi Al Araf, sepanjang elit politik tidak menggunakan isu perbedaan agama dan identitas, maka konflik bisa dihindari.
Akhir-akhir ini elit politik kita sedang menyeret masyarakat yang awalnya toleran, lalu membawanya pada persoalan kekuasaan yang melibatkan emosi mereka.
“Elit politik harus berhati-hati dalam berbicara karena ini akan sangat berdampak di masyarakat,” Al Araf memungkasi diskusi dengan pesan yang tujukan kepada para elit politik negeri ini.
Sumber : http://www.satuharapan.com