Presiden selaku pemegang kekuasaan penyelenggara negara dan pemerintahan berkewajiban memastikan Komisi Nasional (Komnas) HAM sebagai lembaga pelayanan publik menjalankan tugas dan fungsinya sebagaimana digariskan dalam undang-undang, tanpa mengintervensi substansi penyelidikan yang kiranya dapat mencederai kemandirian Komnas HAM.
“Kami meminta Presiden RI untuk memerintahkan Komnas HAM untuk segera menjalankan penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat Paniai melalui Tim Adhoc yang sudah mereka bentuk,” demikian tuntutan itu dalam siaran pers hari Kamis (19/5) di Jakarta.
Pelanggaran HAM di Paniai terjadi ketika empat anak mati ditembak, dua orang mengalami luka berat, dan 17 lain luka-luka akibat pengepungan dan penembakan yang diduga dilakukan aparat gabungan TNI dan Polri di Lapangan Karel Gobay, Paniai, Papua, pada 8 Desember 2014. Namun, hingga hari ini belum ada satu pun yang diseret dan diadili di Pengadilan HAM.
Mereka mencatat pada 28 Desember 2014, saat memberikan sambutan perayaan Natal di hadapan ribuan rakyat Papua di Lapangan Mandala Kota Jayapura, Papua, Jokowi menyatakan, "Saya ingin kasus ini diselesaikan secepat-cepatnya, agar tidak terulang kembali di masa yang akan datang”.
Menurut mereka, Presiden telah menyatakan sikapnya, namun dalam prosesnya terkesan tidak serius untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat itu.
“Korban dan keluarga korban menantikan Presiden mewujudkan pernyataannya tersebut, namun ternyata proses pemenuhan janji tersebut berjalan lamban hingga melahirkan pesan tidak seriusnya negara menghadirkan keadilan di Paniai.”
Menurut mereka, korban atau keluarga korban harus menunggu 448 hari hingga Komnas HAM akhirnya menggunakan kewenangan hukumnya untuk membentuk Tim Adhoc, yang bertugas untuk menyelidiki pelanggaran HAM berat dalam kasus Paniai. Tepat pada 1 Maret 2016, Komnas HAM membentuk dan mengesahkan tim ini melalui SK Ketua Komnas HAM No 009/Komnas HAM/III/2016.
Tim Adhoc memiliki masa kerja 184 hari yang berlaku sejak 1 Maret 2016 hingga 31 Agustus 2016 untuk mengumpulkan berbagai data, informasi dan fakta, menyelidiki tingkat keterlibatan aparat negara serta merumuskan hasil penyelidikan yang nantinya akan dijadikan dasar penyidikan oleh Kejaksaan Agung untuk kemudian membawa para penjahat HAM diadili di pengadilan HAM.
“Namun sampai saat ini, Tim Adhoc belum melakukan tugasnya tersebut. Delapan puluh hari sudah berlalu sia-sia, ini merupakan bentuk penundaan keadilan yang sejatinya adalah penyangkalan terhadap keadilan itu sendiri, ironisnya hal ini justru kembali dilakukan oleh Komnas HAM.”
Oleh karena itu, Jokowi diminta untuk memerintahkan kepada kementerian dan lembaga negara terkait untuk mendukung kerja Tim Adhoc baik dari segi pembiayaan maupun kerja sama dalam memberikan infomasi atau data yang dibutuhkan.
“Kami juga menuntut Komnas HAM untuk segera memulai proses penyelidikan dan bila dibutuhkan memperpanjang masa kerja Tim Adhoc jika ternyata 104 hari yang tersisa tidak memadai bagi Tim Adhoc untuk melakukan kerja-kerjanya,” kata tuntutan bersama penegak HAM itu.
Sejumlah LSM penegak HAM itu di antaranya Papua itu Kita, LBH Jakarta, SKP-HAM Sulawesi Tengah, SETARA Institute, IKOHI, AJAR, LBH Pers, LBH Semarang, LBH Bandung, AHRC, Human Rights Working Group (HRWG), Imparsial, SIMPONI (Sindikat Musik Penghuni Bumi), CEDAW Working Group Indonesia (CWGI), Yayasan Satu Keadilan, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Kemudian PurpleCode Collective, KASBI, KPRI, IBC, Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Kiprah Perempuan, ICJR, KontraS, Human Rights Watch, Sekertariat Nasional APIK, AJI Indonesia, RPuK Aceh, Arus Pelangi, Solidaritas Perempuan, Perkumpulan Jubi, Yayasan Pusaka, Belantara Papua, FIM Papua, Garda Papua.
Selanjutnya LBH Pers Padang, Green Movement Indonesia, Center of Human Rights Law Studies (HRLS) Fakultas Hukum Unair, Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk), FSEDAR, Aliansi Buruh Kontrak Menggugat, Pusat Perjuangan Rakyat Indonesia (PPRI), Islam Bergerak, Solidaritas Net, Politik Rakyat, Perempuan Mahardika, Norma Rae – Palu, KontraS Aceh, LBH Keadilan Bogor Raya, LBH Keadilan Sukabumi Raya, dan HaRI (Hutan Rakyat Institute).
Sementara itu secara individual yang turut mendukung pernyataan ini di antaranya Nancy Sunarno, Zico Mulia, Ayu Wahyuningroem, Frida Gultom, Dhyta Caturani, Lilik HS, Mugiyanto, Muhamad Daud Bereuh, Estu Fanani, Veronica Iswinahyu, Lini Zurlia, Whisnu Yonar, Bilven, Syahar Banu.
Kemudian Andreas Iswinarto, Agnes Gurning, Sinnal Blegur, Ibeth Koesrini, Wahyu Susilo, Frenia Nababan, Achmad Fanani Rosyidi, Olin Monteiro, Donna Swita, Cut Marini D.C, Sa'duddin Sabilurrasad, Bhagavad Sambadha, Dolorosa Sinaga, Irina Dayasih, Nursyahbani Katjasungkana.
Selanjutnya Leila Juari, Yuli Rustinawati, Irine Gayatri, Damar Juniarto, Roni Saputra, Norma Susanti RM, Rosnida Sari, Ratna Sary, Khairil, Taro Lay, Reza Muharam, Yunantyo Adi, Harry Wibowo, Yayak Yatmaka, Uchico San, Tantowi Anwari, Indraswari Agnes, Syamsul Alam Agus, Miryam Nainggolan, dan Wina Khairina.