Sulawesi, Ambon, Papua

Tiongkok Mengerutkan Kristen dengan 26 Aturan Baru

Minggu ini adalah kesempatan terakhir bagi warga Kristen Tiongkok untuk mengutarakan pendapat kepada pemerintah mengenai undang-undang agama yang baru. Mereka sangat mengeluhkan undang-undang itu.

Pemerintah Tiongkok baru saja mengeluarkan draf undang-undang pembatasan beragama pada September lalu, termasuk larangan pelayanan agama secara online, melakukan ibadah keagamaan di sekolah, dan mengorganisir orang ke luar negeri untuk mengikuti pelatihan atau seminar keagamaan.

Kantor Urusan Agama Negara (SARA) membuka jendela respons dalam satu bulan ini untuk mendapatkan reaksi terhadap 26 aturan baru untuk menjalankan ibadah. Waktu terakhir untuk memberikan respons adalah 7 Oktober mendatang.

Draf undang-undang itu dibuka dengan jaminan bagi seluruh warga Tiongkok untuk meyakini apa pun yang mereka inginkan dan terlibat dalam kegiatan agama selama tidak melampaui batasan yang ditetapkan. Salah satu pakar kebijakan agama Tiongkok yang tidak ingin disebutkan namanya, menyebutkan bahwa isi dari undang-undang tersebut adalah:

-Tidak ada kegiatan agama tanpa persetujuan SARA.

-Tidak boleh menyediakan tempat untuk beribadah tanpa persetujuan SARA.

-Tidak boleh menggunakan rumah sebagai tempat ibadah tanpa persetujuan SARA.

-Tidak boleh ada penerbitan keagamaan tanpa persetujuan SARA.

Tidak boleh ada donasi internasional terhadap organisasi keagamaan mana pun tanpa persetujuan SARA.

-Tidak satu orang pun boleh menyebut diri mereka imam tanpa persetujuan SARA.

-Tidak ada pertukaran kegiatan agama secara internasional tanpa persetujuan SARA.

-Tidak boleh mengambil pendidikan teologi tanpa persetujuan SARA.

Sumber itu juga melanjutkan: “Anda dapat bayangkan, aturan perizinan melalui SARA ini tidak akan memungkinkan tersedianya peluang ibadah bagi gereja yang belum terdaftar di Tiongkok, dan akan mematikan pergerakan kekristenan yang ada.”

Pada undang-undang sebelumnya yang diterbitkan tahun 2005, sekalipun berat, gereja rumah dan kegiatan keagamaan lain masih dapat berjalan. Sedangkan pada undang-undang baru ini, SARA diberikan kekuasaan untuk menentukan mana yang tidak dapat dilakukan.

Thomas DuBois, professor pada studi Tiongkok di College of Asia and the Pacific at Australian National University, membandingkan undang-undang 2005 dengan 2016.

“Tujuan sebenarnya adalah untuk melindungi kegiatan agama yang sudah dilegitimasi, sekaligus memastikan bahwa agama tidak dikelola oleh pihak yang salah dan justru merusak kesatuan negara. Sementara melalui undang-undang yang baru ini, tampak bahwa pemerintah ingin menguasai semuanya sampai ke hal yang paling kecil. Revisi ini akan sangat membatasi keleluasaan menjalankan ibadah di Tiongkok, bahkan menjadikannya mustahil,” ujar DuBois.

“SARA seharusnya tidak diberikan kemampuan untuk menjalankan aturan ini secara mutlak sehingga lembaga yang lain justru kehilangan wewenangnya, seperti kongres maupun konsil negara,” papar Li Guisheng, pengacara Kristen yang berkontribusi pada dokumen yang diterbitkan tersebut.

Ia mengatakan revisi ini memberikan kekuatan kepada kekuasaan berikutnya untuk memberi tekanan.

“Ancaman ini nyata, dan hanya kongres yang dapat mengubahnya melalui sidang paripurna. Namun proses yang sedang berjalan ini memberikan pertanyaan, akan kemana ujung dari hal ini?” ujar Guisheng. (christianitytoday.com/spw)

Editor : Sotyati

Share This Post:
 
Sinode Gereja Kristen
Perjanjian Baru
  • Address:
    MDC Hall, Wisma 76 Lt. 26
    Jl. S. Parman Kav. 76 Slipi
    Jakarta Barat 11410
  • Phone: (+6221) 53690033
  • Fax: (+6221) 53690055
 
 
© 2016. «GKPB MDC