Sumatra

Integritas Terbuka Solusi Menjawab Kekurangan Pluralisme

JAKARTA, Suster dari Kongregasi Hati Kudus Yesus, Gerardette Philips mengatakan, pendekatan integritas terbuka merupakan pendekatan yang sesuai untuk dialog antarumat beragama di Indonesia saat ini. Menurutnya, pendekatan tersebut lebih tepat digunakan dibandingkan ekslusivisme, inklusivisme, ataupun pluralisme.

“Selama beberapa dekade, kaum Muslim dan Kristiani telah terlibat dalam dialog yang intens. Namun usaha tersebut masih menyisakan kesalahpahaman yang terus terjadi, analisis mendalam atas pendekatan yang biasa dipakai dalam dialog antaragama tidak membuahkan hasil maksimal dalam kerja sama antaragama,” kata Suster Gerardette dalam acara Launching Studi Agama dan Perdamaian 2016 dan Diskusi Buku ‘M.E.L.A.M.P.A.U.I PLURALASIME', di Kantor Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Jalan Cempaka Putih Barat XXI No. 34, Jakarta Pusat, hari Jumat (15/4) malam.

Dia menjelaskan, meskipun telah berhasil menghadirkan terobosan dari ekslusivisme dan inklusivisme, pluralisme memiliki sejumlah bahaya. Salah satunya, kata Suster Gerardette, tidak memandang serius identitas dan klaim kebenaran agama lain.

Pendekatan pluralisme, menurutnya, juga tidak memungkinkan berkembangnya sinkretisme dalam beragama akibat pahamnya yang menyamakan agama-agama.

“Pemikiran saya sebetulnya sangat sederhana, meskipun ada pendekatan yang banyak digunakan untuk dialog antarumat beragama, kemudian terakhir berhenti di pendekatan pluralisme, tapi hingga saat ini masih sering terjadi kecurigaan antarumat beragama, tidak ada rasa saling percaya,” ujar sosok yang merupakan dosen Fakultas Ilmu Filsafat di Universitas Parahyangan Bandung itu.

Suster Gerardette mencontohkan, dunia menganggap bahwa kelompok militan Negara Islam Irak dan Suriah (Islamic State Iraq and Syria/ISIS) adalah Islam. Padahal, Suster Gerardette meyakini bahwa kelompok yang telah mengklaim diri menjadi dalang sejumlah aksi terorisme belakangan ini tersebut bukan bagian dari agama Islam.

“Kalau dikatakan jadilah umat Muslim yang baik, apakah dengan bunuh diri? Menurut saya, mereka bunuh diri, karena mereka tidak tahu agama mereka sendiri,” ucapnya.

Menurut dia, ini merupakan bukti belum adanya keseriusan umat beragama untuk mau mempelajari agama yang bukan keyakinananya. Suster Gerardette berpendapat, bila semua umat beragama mau memperkaya pemahaman tentang agama yang tidak diyakini, maka tidak akan ada aksi pembunuhan atas nama agama.

“Dengan apa kita diperkaya? Dengan wahyu Tuhan,” ucap dia.

Solusi untuk Indonesia

Sementara itu, Ketua ICRP, Ulil Abshar Abdalla menilai, pemikiran Suster Gerardette sesuai dengan kondisi di Indonesia saat ini. Menurutnya, pendekatan integritas terbuka dapat menjadi solusi baru bagi penolak pluralisme karena khawatir keunikan tradisi agama yang dianutnya akan hilang.

“Ini bisa menjadi terobosan, bagaimana umat beragama satu bisa berdialog dengan umat beragama lain tanpa takut imannya akan terkurangi atau dialognya akan menimbulkan kekaburan akidah,” ujar Ulil.

Sebab, dia menyampaikan, setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2005 pernah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa pluralisme adalah ide haram dalam agama Islam. Saat itu, katanya, MUI menyatakan bahwa Islam hanya mengenal pluralitas, bukan pluralisme.

Sebab, Ulil melanjutkan, MUI berpendapat bahwa pluralisme adalah pemikiran yang memandang semua agama sama tanpa perbedaan. Sementara, pemikiran bahwa pemeluk agama lain, selain Islam, akan masih surga, tidak sesuai dengan akidah Islam.

“Setelah fatwa itu, pluralisme jadi kata kotor, jadi ada perubahan sikap. Umat Islam kurang suka pluralisme, karena mengandung bahaya,” ucap menantu KH Mustofa Bisri (Gus Mus) itu.

Pengelolaan Keragaman

Di tempat yang sama, pendiri Nurcholish Madjid Society, Budhy Munawar-Rachman mengatakan, pemikiran mempunya pendekatan yang melampaui pluralisme dapat dijadikan solusi untuk pengelolaan keragaman di Indonesia.

Menurutnya, perkembangan di Indonesia saat ini, telah membuat seluruh provinsi menjadi daerah plural atau tidak hanya dihuni oleh satu kelompok agama tertentu.

Oleh karena itu, dia mengatakan, butuh cara pengelolaan baru dalam kehidupan antarumat beragama di Indonesia. “Indonesia berubah, semua provinsi sekarang plural. Jadi tidak ada lagi tempat di Indonesia yang bisa dikelola secara ekslusif,” tutur Budhy.

Share This Post:
 
Sinode Gereja Kristen
Perjanjian Baru
  • Address:
    MDC Hall, Wisma 76 Lt. 26
    Jl. S. Parman Kav. 76 Slipi
    Jakarta Barat 11410
  • Phone: (+6221) 53690033
  • Fax: (+6221) 53690055
 
 
© 2016. «GKPB MDC