Surat Pastoral

MDC Surabaya : Menafsir Masa Lalu

Ada sebuah fakta yang harus saya sadari setiap kali melewati malam tahun baru, yaitu bahwa saya bertambah tua dan menjadi makin terbatas atau berkurang dalam banyak hal. Namun ada satu hal yang juga terus bertambah saat seseorang bertambah usianya: pengalaman masa lampau. Pepatah mengatakan bahwa pengalaman adalah guru yang paling baik.

Bung Karno mengingatkan agar jangan sekali-sekali melupakan sejarah, dan ada sebuah ungkapan bijak yang mengatakan bahwa barang siapa yang tidak mempelajari sejarah akan dihukum untuk mengulanginya. Tapi menurut pendapat saya, pengalaman adalah guru yang harus kita seleksi pengajarannya. Pengalaman memang mengajarkan banyak hal, tapi apa yang diajarkan oleh pengalaman haruslah kita tafsirkan secara benar sebelum ia benar-benar bermanfaat. Menafsirkan pengalaman dengan cara yang tidak tepat akan beresiko melumpuhkan potensi dan mematikan masa depan kita sendiri. Masa lampau sendiri secara hakekat tidaklah memiliki nilai apapun dan tidak memiliki wujud nyata. Ia hanya berwujud sebagai ingatan dalam benak kita, bernilai sejauh nilai yang kita berikan kepadanya dan berpengaruh sejauh penafsiran yang kita miliki terhadapnya. Kita bisa dan harus memilih bagian-bagian masa lampau untuk kita tafsirkan dan maknai, dan membuang atau mengabaikan sisanya. Dalam beberapa kasus, kita mungkin malah harus mengabaikan sama sekali sebuah fase dalam kehidupan masa lampau, menempatkannya dalam posisi tidak bernilai dan meninggalkannya. Rasul Paulus pernah melakukan hal ini, dan yang ia tinggalkan justru seharusnya merupakan pengalaman terbaik dalam hidupnya (lih. Fil 3:4-8). Paulus melihat pengalaman masa lampaunya tersebut sebagai sebuah penghalang untuk mendapatkan pengenalan yang benar akan Kristus, dan ia memutuskan untuk meninggalkan semua itu dan memberi label “sampah” kepada pengalaman-pengalaman tersebut.

Tentu saja kita memerlukan panduan yang tepat untuk menafsirkan masa lampau, agar kita tidak malah menyimpan kotoran dan kehilangan permata hikmat. Ada dua hal yang akan memandu kita. Yang pertama adalah menyadari jati diri kita yang sebenarnya dan bagaimana menentukan jati diri itu. Banyak orang tanpa sadar menggunakan masa lalu dalam menentukan jati diri dan sebagai akibatnya mereka terbelenggu oleh pengalaman masa lalu mereka. Mereka bertambah dalam pengalaman, tapi pengalaman yang banyak itu justru menjadi beban batin yang menghambat langkah menuju masa depan. Mereka menetapkan batas-batas dalam hidup menurut pengalaman di masa lampau dan menutup mata terhadap kemungkinan-kemungkinan baru yang sebenarnya tersedia di masa depan. Masa lampau tidaklah menentukan jati diri seseorang sama seperti nilai selembar uang tidak ditentukan oleh dompet siapa saja yang pernah ia masuki. Jati diri kita ditentukan oleh Pribadi yang menciptakan kita, dan semua telah dinyatakan dalam firman-Nya yang tertulis. Begitu seseorang menyadari jati dirinya yang sebenarnya, ia akan mampu menafsirkan masa lampau sesuai dengan jati diri itu, mengambil yang bermanfaat dan membuang sisanya.

Yang kedua adalah mengetahui tujuan hidup kita di dalam Tuhan. Rasul Paulus memahami bahwa tujuan hidupnya adalah mengenal dan menjadi seperti Kristus, dan untuk itu dia harus meninggalkan masa lampaunya. Kita menafsirkan dan memilah masa lampau berdasarkan tujuan yang Tuhan tetapkan. Jika ada pengalaman yang menunjang tujuan itu, kita ambil. Jika menghambat, kita buang. Dengan mengetahui tujuan, seseorang akan dapat menoleh ke belakang dan mengevaluasi dirinya secara obyektif berdasarkan tujuan tersebut, apakah ia makin dekat atau justru menjauh. Ia tidak perlu menyesal berkepanjangan jika salah langkah, tapi juga tidak perlu larut dalam rasa bangga diri jika melakukan hal yang benar karena jati diri-Nya tidak ditentukan oleh masa lampau tersebut.

Apakah anda memiliki pengalaman yang anda sesali atau yang anda syukuri? Semua itu tidak menentukan jati diri dan tidak mengubah tujuan hidup anda. Anda adalah orang berdosa yang menerima kasih karunia keselamatan, musuh Allah yang kemudian diangkat menjadi anak-Nya. Itu adalah jati diri anda, dan tidak ada peristiwa apapun yang mengubah atau membatalkan identitas tersebut. Anda ditetapkan untuk mengenal dan menjadi serupa seperti Kristus, dan Allah akan turut bekerja dalam segala sesuatu agar anda mencapai tujuan tersebut (Rom 8:28-29). Tahun 2017, seperti tahun-tahun sebelumnya, menyediakan berbagai pengalaman dan kemungkinan baru yang bisa kita raih bersama Tuhan. Selamat tahun baru dan Tuhan memberkati kita semua!

Penulis: Handono

Share This Post:
 
Sinode Gereja Kristen
Perjanjian Baru
  • Address:
    MDC Hall, Wisma 76 Lt. 26
    Jl. S. Parman Kav. 76 Slipi
    Jakarta Barat 11410
  • Phone: (+6221) 53690033
  • Fax: (+6221) 53690055
 
 
© 2016. «GKPB MDC